Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia cabang Australian Capital Territory (Canberra) mengadakan diskusi tentang “Ahmadiyah, Syiah, dan Pemilu Presiden Indonesia” pada hari Jumat, 16 Mei 2014. Pengisi diskusi adalah Aan Suryana, mahasiswa program PhD The Australia National University (ANU) yang sedang melakukan penelitian untuk disertasinya tentang “Kekerasan Negara terhadap Minoritas (Syiah dan Ahmadiyah). Peserta diskusi bukan hanya yang berasal dari Indonesia saja namun juga mahasiswa-mahasiswa dari luar negeri yang menaruh perhatian pada politik di Indonesia.
Semakin mendekati pemilu presiden, debat tentang kebijakan presiden yang terpilih mendatang dalam isu minoritas juga semkain intensif. Muncul argumen bahwa jika yang terpilih Prabowo Subianto maka tekanan atau persekusi terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah akan semakin menguat. Hal ini dikarenakan memperhatikan manifesto politik Gerindra yang menyiratkan adanya tendensi untuk melakukan pemurnian ajaran agama (purifikasi) dimana komunitas di luar arus utama agama dan aliran kepercayaan menjadi kelompo rentan. Terlebih, koalisi Prabowo Subianto dengan kelompok Islamist menyebabkannya lebih mudah terpengaruh untuk membuat kebijakan yang destruktif jika terpilih.
Akan tetapi, dalam makalahnya, Aan Suryana berargumen bahwa jika Joko Widodo yang terpilih menjadi presiden pun, Ia akan menemui permasalahan serupa. Pertama, konteks politik Indonesia kontemporer dimana desentralisasi membuat kewenangan presiden menjadi berkurang dan struktur negara sendiri terfragmentasi. Presiden tidak memiliki kekuatan penuh untuk mampu memaksa pemerintah daerah untuk tidak melakukan persekusi terhadap ahmadiyah dan syiah di daerah administrasinya. Kedua, kontruksi negara pun juga memberikan ruang bagi terjadinya persekusi terhadap minoritas dengan hanya mengakui enam agama resmi dengan prinsip monoteisme yang tidak bisa dinegosiasikan. Narasi resmi negara terhadap agama ini kemudian dimapankan oleh apparatus negara seperti Departemen Agama dan Bakorpakem.
Dengan demikian PPIA ACT melihat bahwa siapapun presiden yang terpilih, persekusi terhadap minoritas tetap akan terjadi selama kontruksi negara dan narasi resminya terhadap agama tidak berubah. Hal ini harus menjadi perhatian siapapun presiden yang terpilih dalam pemilu nanti. Dengan memahami konteks bangunan struktur negara yang memang rentan disalahgunakan untuk praktek persekusi minoritas, presiden terpilih nantinya mampu untuk lebih bijak bertindak. Akan tetapi, jika dari internal calon presiden sendiri dalam pandangan politiknya sudah mengandung tendensi untuk melakukan persekusi minoritas seperti kebijakan tentang purifikasi, ini akan sangat memperburuk situasi kebhinekaan kita.
Comentarios