Canberra, 6 Oktober 2014 – Persatuan pelajar Indonesia di Australia cabang Australian Capital Territory (PPIA ACT) melakukan aksi terkait dengan pengesahan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Bertempat di depan Parliament House, Canberra, para mahasiswa Indonesia menggelar aksi damai yang bertajuk “Layatan Canberra”.
Oleh: Muh Taufik
Aksi tersebut tidak hanya terkait dengan persoalan pemilihan kepala daerah, namun juga mencermati situasi politik terakhir yang berkembang dimana memperlihatkan adanya ancaman terhadap konsolidasi demokrasi Indonesia untuk kembali seperti pada masa Orde Baru. “Layatan Canberra adalah bentuk gerakan moral untuk melawan kelompok oligarki yang masih menggunakan cara berpikir Orde Baru,” jelas Yogi Permana, koordinator Departemen Kajian, Gerakan, dan Keilmuan (KGK) PPIA ACT sekaligus koordinator aksi dalam orasinya. Lebih lanjut, Yogi menambahkan bahwa kelompok tersebut memberikan ancaman nyata untuk membajak demokratisasi di Indonesia.
Terkait dengan bentuk-bentuk ancaman tersebut, Yogi menjelaskan, “Ancaman nyata tersebut antara lain pengesahan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPR RI dan terpilihnya figur-figur anti pemberantasan korupsi sebagai pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2014 – 2019. Setya Novanto memiliki rekam jejak yang penuh dengan dugaan korupsi seperti skandal cessie Bank Bali, proyek e-KTP, dan pembangunan saran olahraga untuk PON 2012 di Pekan Baru. Fahri Hamzah dikenal publik sebagai tokoh yang mendukung pembubaran KPK. Terakhir, Fadli Zon yang sering mengglorifikasi Suharto dan Orde Barunya”.
Selain itu, ancaman terhadap demokrasi Indonesia antara lain pelemahan KPK dan wacana pengembalian pemilihan presiden kepada MPR. Seperti yang diungkapkan oleh, Dini Suryani, salah seorang anggota PPIA ACT, bahwa dalam situasi dimana lembaga-lembaga negara penegak hukum belum memiliki kinerja yang efekif, KPK sampai hari ini menjadi benteng terakhir dalam penegakan hukum di Indonesia. “Upaya pelemahan KPK jelas bertentangan dengan agenda reformasi dan konsolidasi demokrasi. Pengembalian pemilihan presiden kepada MPR pun juga merupakan kemunduran besar karena bangsa ini mau dibawa lagi seperti pada jaman Orde Baru,”ungkap mahasiswi master di The Australian National University (ANU) ini lebih lanjut.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh Presiden PPIA ACT, Shohib Essir, organisasi pelajar di Australia ini menyerukan: 1) menolak dan mengecam dengan keras atas pemberlakuan kembali pilkada tidak langsung di Indonesia, 2) melawan semua potensi bahaya laten Orde Baru seperti pelemahan KPK dan pengembalian pemilihan presiden ke Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan 3) mendesak agar semua elemen asosiasi pelajar di luar negeri aktif dalam mengawal konsolidasi demokrasi Indonesia melalui sikap yang tegas dan tidak netral.
コメント