Oleh: Pandu Utama Manggala
Biarkan dunia merubahmu, Maka engkau akan mampu merubah dunia!” –Ernesto “Che” Guevara Dalam Motorcycle Diaries
Tulisan ini tidaklah bertujuan untuk membuat penat kepala kita dengan beragam masalah yang ada di dunia pendidikan Indonesia. Tulisan ini hanya sekedar upaya berbagi, supaya kita semua tidak kehilangan salah satu kemampuan distingtif kita sebagai manusia: refleksi. Ya benar, refleksi lebih dalam untuk menyelami realitas dunia, sebagai prasyarat untuk lahirnya sesuatu yang berarti, sebagaimana yang diungkapkan Che diatas.
Pertanyaan kritis kemudian pantas diajukan ke dalam diri kita, “Benarkah kita, mahasiswa telah memahami realitas dunia? Atau setidaknya realitas yang ada di sekitar kita?” Kita memang belajar tentang “realitas” melalui berita dan berbagai dokumen. Tetapi, mari berpikir ulang: benarkah itu “realitas”? Untuk memahami realitas itu pun, kita hanya fasih mengeja nama-nama yang tidak pernah lahir di sekitar kita (Misal Karl Marx, Adam Smith, Derrida, dll –patut dicatat juga kalau hal ini bukan berarti saya xenophobia ya)
Baiklah, mari berdiskusi lebih tajam lagi. Kita sebagai mahasiswa sering mengkritik sistem ekonomi politik dunia yang tidak adil saat ini dan turut meratapi nasib negeri kita yang malang ini. Kita juga sering merayakan kemiskinan dengan cara mengutip data-data memprihatinkan itu dalam tumpukan kertas yang kita kumpulkan dalam beragam tugas dan ujian. Setelah itu, apa yang terjadi? Sering kali kemiskinan yang kita kutip tersebut pun hilang dari kepala kita. Selesai.
Seorang filsuf pendidikan, Paulo Freire, menyatakan bahwa pendidikan harus melibatkan tiga unsur: guru, murid (dalam relasi yang setara) dan “realitas dunia”. Tanpa itu, pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang diproduksi oleh pendidikan sebagai pengidola dirinya sendiri: belajarlah yang benar untuk karirmu di masa yang akan datang.
Maka, saksikanlah bahwa ramai mahasiswa berkuliah untuk bekerja. Berkuliah untuk mengasingkan dirinya sendiri di menara gading bernama universitas, institut, atau akademi. Setelahnya, seperti kata Romo Magniz: “mereka menjadi penjajah bangsanya sendiri!” Untuk itulah, dalam menyingkapi bagaimana mahasiswa harus menjalankan peran sosialnya, terlebih dahulu harus dicari yang hilang dalam dunia pendidikan kita, yaitu; kemampuan untuk melihat “realitas dunia” yang ada di sekitar kita, dan untuk meraih hal tersebut kita pun terlebih dahulu harus dapat memahami nilai dasar dari pendidikan itu sendiri.
Realitas Dunia Pendidikan Kita dan Nilai Dasarnya
Pendidikan sebagaimana yang diketahui merupakan suatu jembatan untuk dapat menghasilkan sumber-sumber daya manusia suatu negara yang berkualitas, yang dapat mengangkat derajat negara tersebut. Pendidikan juga diperlukan untuk mengembangkan potensi peserta didik dalam berbagai dimensi kemanusiaannya karena esensi dari pendidikan itu sendiri adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kemanusiaan yang membudaya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai leading sector dalam bidang pendidikan di Indonesia seharusnya bisa memainkan perannya sebagaimana yang diungkapkan di atas, dengan menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai sarana untuk mengembangkan SDM-SDM di Indonesia dari dimensi kemanusiaannya dan menjadikan pendidikan itu sebagai suatu proses untuk dapat menghasilkan SDM Indonesia yang berkualitas. Namun yang terlihat dalam pelaksanaannya, pendidikan sebagai suatu proses diabaikan dan hanya bertumpu pada pola pendidikan yang lebih menekankan sebagai capaian akademis semata. Sehingga hal itu menimbulkan suatu tradisi kurang berpikir dari masyarakat Indonesia dimana bangsa ini lebih suka untuk mendapatkan jawaban daripada pertanyaan. Padahal sebenarnya menurut Jacques Rolland, seorang filsuf, bertanya merupakan latihan dari berpikir yang dapat membuat suatu bangsa maju. Kita saksikan di Indonesia, ramai-ramai siswa mendatangi bimbingan-bimbingan belajar dan membeli buku kumpulan soal dan jawaban semasa persiapan ujian nasional ataupun ujian masuk Perguruan Tinggi. Bangsa ini kemudian menganggap kebenaran dan jalan kebenaran hanya satu, tidak dipersoalkan lagi.
Lebih lanjut, sebagai sarana pembangunan sumber daya manusia yang utama, pendidikan memiliki posisi yang sangat penting terhadap kehidupan di masyarakat. Tak bisa dipungkiri, pembangunan pendidikan menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Berbagai cara dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dalam sebuah sekolah, mulai dari merubah kurikulum, mendapatkan pengajar-pengajar yang kompeten, dan mencari investor-investor dalam rangka membantu sekolah secara finansial.
Hal-hal semacam itu menjadi pro dan kontra tersendiri dalam sistem pendidikan di negara Indonesia. Dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 31 disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran”. Hal tersebut berarti Pemerintah harus bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan terhadap masyarakat Indonesia.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah tidak sinkronnya antarprogram pendidikan nasional dimana hal ini berakibat menambah beban masyarakat. Telah disahkannya UU Perguruan Tinggi pada tahun 2012 seperti menghidupkan kembali UU Badan Hukum Pendidikan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dikhawatirkan (dan dalam beberapa hal telah terbukti) UU Perguruan Tinggi ini akan melahirkan beberapa masalah seperti praktik komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, serta pratik outsourcing dan ketidakjelasan status pegawai.
Lebih lanjut, dalam hal kurikulum pun belum terlihat formulasi yang tepat dalam membangun civic education. Kurikulum yang ada cenderung tanpa arah dan lebih tertarik mengembangkan Sekolah Berbasis Internasional yang sebenarnya secara substansi pun tidak mempunyai design yang jelas. Berangkat dari pernyataan Foucault akan “Knowledge-Power Relations” dimana pengetahuan yang lebih akan sesuatu akan mendatangkan kuasa bagi yang memilikinya, seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemdikbud harus dapat melihat hal tersebut dan kemudian membangun suatu sarana pendidikan yang memadai bagi rakyat Indonesia, terutama dengan menguatkan civic education demi menancapkan nilai-nilai keindonesiaan. Ya, inilah yang mesti kita kuatkan terlebih dahulu untuk membangun kembali dunia pendidikan Indonesia, “pencarian terhadap realitas dunia dan penanaman nilai dasar keindonesiaan!”
Memahami hahekat peran mahasiswa
Sejak dulu, mahasiswa Indonesia adalah sebuah bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa. Semenjak zaman kemerdekaan 1945, 1966, 1974, dan 1998, sejarah membuktikan bahwa mahasiswa adalah sebuah kekuatan yang ada pada setiap momen perubahan besar bangsa ini, sebuah peran yang besar dan berat yang harus disadari mahasiswa secara historis dan keilmuan telah menempatkan dirinya sebagai bagian dari realitas rakyat Indonesia. Maka, bagaimana dengan keadaan mahasiswa saat ini? Sejauh mana mahasiswa memahami bahwasanya dirinya tidak lain adalah bagian dari rakyat Indonesia.
Perlu diingat, mahasiswa berhutang pada rakyat karena selain mahasiswa mampu belajar melalui sebagian besar uang rakyat (pajak), mahasiswa adalah sedikit yang beruntung dari ratusan juta masyarakat Indonesia yang tidak mendapatkan pendidikan. Mahasiswa memiliki tanggung jawab moral dan perwujudan hal tersebut adalah pergerakan mahasiswa yang tidak pernah berhenti.
Gerakan intelektual mahasiswa tidak pernah berhenti untuk terus bergerak mengamati, mengkritisi, dan bertindak memperjuangkan rakyat, Rumah kedua mahasiswa adalah kampus dan disinilah perjuangan dimulai. Meminjam sebuah istilah dari Prof Satjipto Rahardjo, “Mahasiswa butuh menjadi makhluk yang progresif. Mahasiswa harus berpikir ke depan, tidak sempit dan parsial memikirkan mengenai pemanfaatan keilmuannya”. Mahasiswa juga sepatutnya berpikir dan bertindak untuk masyarakat, tidak hanya berwacana saja, tidak hanya belajar dan bergerak untuk diri sendiri saja.
Alasan mengapa mahasiswa perlu bergerak dan melakukan pencerdasan serta penyadaran adalah karena mahasiswa bagian dari rakyat Indonesia. Mahasiswa telah lama berdiam diri berada pada zona nyaman kehidupan kampus, inilah saat mahasiswa melangkah keluar dari zona nyamannya dan masuk ke daerah yang tidak pasti, penuh pengorbanan, pemikiran dan tindakan, demi sebuah balasan yang berharga yaitu kesejahteraan rakyat dan kemuliaan bangsa.
Peran mahasiswa tidak ringan serta penuh pertanggungjawaban. Seperti pesan Pramoedya A. Toer, bahwa mahasiswa sebagai bagian dari rakyat yang memiliki intelektualitas, tidak memiliki hutang pada siapapun kecuali rakyat. Mahasiswa wajib membuat rakyat tahu dan sadar mengenai permasalahan, hak dan kewajiban mereka karena mahasiswa punya kemampuan dan ilmu untuk tahu. Bijaklah kawan! Mahasiswa tidak hanya duduk di bangku kuliah memikirkan kehidupannya saja. Rakyat membutuhkan kita karena kita berhutang pada mereka. Mahasiswa adalah rakyat dan kepada rakyatlah mahasiswa harus memberikan kontribusinya.
Lalu, selanjutnya bagaimana?
Yah, tentu langkah awalnya kembali kepada diri kita sendiri. Tanyakan ke dalam diri kalian beberapa pertanyaan ini; Untuk apa kita kuliah saat ini? ( bisa dijawab dengan logika apapun yang kita gunakan, logic of consequences atau logic of appropriateness atau bahkan bukan logika sekalipun), apa yang menjadi ruh, yang menjiwai apa yang kita lakukan? Terakhir, apa yang akan kita lakukan?
Tentu saja, realitas pun punya beragam versi narasi. Maka jawaban kita pun tak salah jika berwarna-warni.
SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL!!
Comments