top of page
Writer's picturePPIA ACT Perhimpunan Pelajar Indonesia Canberra

Globalisasi vis-á-vis Nasionalisme: Pemaknaan Identitas Nasional

pancasila

Dunia internasional sekarang adalah dunia yang diwarnai oleh globalisasi. Semakin menyempitnya dunia akibat perkembangan teknologi, telekomunikasi, dan transportasi memunculkan kecenderungan similaritas dan uniformitas dari para individu, kelompok, dan sistem sosial yang melewati atau bahkan menghapus batas tradisional negara. Baik secara sosial, ekonomi, maupun politik, globalisasi telah memungkinkan terjadinya pergeseran citizenship dan kesetiaan dari keterikatan nasional ke dalam keterikatan global. Akan tetapi, pemahaman mengenai akan tenggelamnya konsep nation state Westphalia jangan sampai dipahami sebagai sesuatu yang given akibat fenomena globalisasi. Tulisan yang dibuat dalam rangka memperingati hari kelahiran Pancasila ini akan coba menggambarkan bahwa state tetap berupaya menjadi entitas yang kuat dalam dunia internasional, dengan membangun nasionalisme lewat pengekspresian identitas state tersebut. Selain itu, akan dibahas juga bagaimana permasalahan globalisasi dan nasionalisme dihadapi oleh sebuah nation-state bernama Indonesia.

Pencarian identitas nasional

Identitas, menurut Paul Kowert adalah permainan bahasa yang diungkapkan terus menerus. Identitas state dengan demikian selalu merupakan sesuatu yang intersubjektif, keberadaannya selalu ditentukan bersama dengan yang lain. Pemaknaan identitas nasional suatu negara oleh karenanya bisa dicari lewat pemahaman akan budaya[1] yang embedded dalam masyarakatnya. Salah satu cara membangun intersubjektif demi terwujudnya identitas kolektif, state perlu untuk memproteksi industri-industri budaya (culture industries) yang dimilikinya. Culture Industries yang dimaksud adalah industri-industri yang memperlihatkan budaya atau karakteristik dan ide mengenai suatu negara, misalnya lewat industri film, siaran radio dan televisi, buku, dan lainnya.

Culture industries berperan penting dalam membangun komunitas politik lewat shared images, ideas, and definitions yang akan menegaskan kembali mengenai identitas nasional mereka, sehingga akan membangun loyalitas kepada negaranya. Rekonstruksi identitas bangsa oleh culture industries ini akhirnya akan membuat nilai nasionalisme terinternalisasi di dalam masyarakat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pergerakan ide lewat culture industries mempunyai kekuatan untuk memberikan makna dan menegaskan batas serta eksistensi suatu state.

Spektrum identitas nasional dalam sebuah konteks hubungan sosial maupun antarbangsa ini telah mengubah konsepsi mengenai state yang berhadapan dengan discourse globalisasi yang selalu dipahami akan mengerosi keberadaan state. Lebih lanjut, penguatan culture industries  memperlihatkan bahwa state telah memberikan ruang bagi indigenous discourse dalam menghadapi narasi-narasi besar yang hadir dalam globalisasi.

Bagaimana dengan Indonesia?

“No Sir! Kami tidak ambruk!

Bersama-sama rakyat Indonesia,

 kita akan pecahkan segala kesulitan-kesulitan itu,

Bersama-sama kita akan ganyang kesulitan itu”

-Soekarno, 1964

Dalam membahas mengenai identitas dalam nation state Indonesia, penulis akan mengajukan tiga pertanyaan mendasar. Pertama, masih adakah rasa nasionalisme dan rasa cinta kita terhadap suatu negara yang bernama Indonesia? Agaknya pertanyaan tersebut patut direnungkan kembali di tengah identitas nasional bangsa Indonesia yang mulai luntur. Alih-alih mencoba mengangkat Indonesia dari keterpurukannya, kebanyakan masyarakat Indonesia malah merasa malu untuk menjadi seorang Indonesia. Hal ini menciptakan kekosongan nilai-nilai dan jati diri individu di hadapan sosialitasnya. Kekosongan nilai, nihilisme, dalam dunia modern termanifestasi dalam situasi absurd. Bukannya berupaya membangun identitas Indonesia lewat penguatan culture industries, film-film di Indonesia malah terus menerus memproduksi kekosongan nilai lewat penghadiran tema-tema horor tak cerdas dan cinta dangkal remaja.

Tidak banyak film Indonesia yang berupaya mengangkat kembali discourse-discourse mengenai keindonesiaan. Film-film seperti “Nagabonar”, “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” mungkin bisa dilihat dari sedikit film di Indonesia yang berusaha memperlihatkan aktualitas nilai nasionalisme di tengah zaman yang sudah berubah. Bentuk aktualitas nilai tersebut misalnya diperlihatkan dengan penolakan Bonaga (anak Nagabonar) untuk merekayasa pajak walaupun sebenarnya ia dapat melakukan hal tersebut atau upaya Muluk dan kawan-kawan untuk mengajarkan anak-anak jalanan pelajaran agama dan kewarganegaraan di film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Film-film seperti inilah yang seharusnya terus diangkat untuk menjadi “lem perekat” emosional diantara masyarakat Indonesia. Rekonseptualisasi identitas nasional Indonesia bisa dimulai dan dimaknai dengan cara memandang kita oleh kebiasaan kita sendiri, atau dengan kata lain melihat realitas yang ada dalam masyarakat.

Pertanyaan berikutnya yang bisa diajukan kemudian mengarah pada adakah kebudayaan yang sungguh-sungguh tunggal di dunia ini sehingga suatu komunitas dapat mengidentifikasi dirinya dengan kebudayaan itu? Pada kenyataannya kebudayaan lebih bergerak pada prosesnya sendiri dengan persinggungan berbagai kebudayaan yang lain. Identitas pun demikian, telah bersinggungan dengan berbagai identitas-identitas yang lain, sehingga identitas nasional suatu negara pun bisa beragam dan harus bisa mengakomodir afiliasi majemuk. Identitas yang tunggal dan tanpa pilihan tidak hanya akan membuat suatu negara menjadi kerdil, melainkan pula akan membuat dunia jauh lebih membara.[2]

Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk dan multikultural harus dapat memaknai identitas nasional secara tepat agar tidak terjerumus ke dalam semangat partikularisme yang menjebak masyarakat dalam identitas-identitas yang sangat emosional dan mendalam, yakni identitas seperti agama dan etnis. Reinventing Indonesia harus dilakukan dalam mencari identitas yang benar-benar melekat pada sosok masyarakat bangsa dan negara. Untuk itu, penulis berpendapat bahwa konsep yang cocok untuk mengakomodasi masyarakat Indonesia yang multikultural adalah Pancasila. Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity).

Lebih lanjut, Bhineka Tunggal Ika jangan diartikan secara sempit menjadi penyeragaman semua etnis dan suku di Indonesia menjadi satu Indonesia melainkan bahwa seluruh etnis di Indonesia tetap diangkat sebagai identitas masyarakatnya, dengan tetap berwadah kepada Indonesia. Setiap orang Indonesia harus merasa bangga terhadap keindonesiaan mereka, meskipun ada identitas Jawa, Sunda, Batak, dan lainnya. Meminjam istilah Azyumardi Azra, Rejuvenasi Pancasila harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan pemaknaan tunggal atas Pancasila yang dilakukan Orde Baru. Tahap awalnya bisa menjadikan Pancasila sebagai public discourse untuk dapat dimaknai terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Terakhir, penulis akan bertanya maukah masyarakat Indonesia bangga dengan keindonesiaan mereka? Orang Malaysia berani membuat kaos yang bertuliskan “Saya Orang Malaysia” dengan merunut hal-hal yang membuat seorang Malaysia bangga untuk menjadi orang Malaysia. Akankah kita melihat kaos serupa yang bertuliskan “Saya Orang Indonesia”, yang merunut berbagai hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia untuk dapat menegaskan invisible borders negara yang bernama Indonesia?

Sebagai kesimpulan, dalam globalisasi vis-á-vis nasionalisme, bukan isu spasial yang kian mengerut sekaligus mengglobal, melainkan suatu “kebedaan” dalam banyak makna yang terus diperdebatkan. Oleh karena itu, nilai nasionalisme harus terus dibangun agar tidak tergerus globalisasi. Sehingga “kebedaan” borders negara dengan yang lain dapat terus terlihat, dan dengan begitu tidak akan mengikis eksistensi entitas yang disebut state.

-Selamat Memaknai Hari Kelahiran Pancasila!-


 

[1] Budaya adalah konsep yang elusive dan mendalam, karena konsep ini berhubungan dengan bagaimana kita mengenal diri kita sendiri dan orang lain. Lihat Patricia M. Goff, Invisible Borders: Economic Liberalization and National Identity, (Oxford: Blackwell Publishers, 2000), hlm. 544.


[2] Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2006), hlm. 23-24.

1 view0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page